WAYANG, MEDIA KOMUNIKASI KLASIK NAMUN UNIVERSAL


#bridgingcourse11

            Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak suku bangsa dengan berbagai macam kebudayaan. Dari ujung Timur sampai ujung Barat wilayah Republik Indonesia memiliki kebudayaan khas daerahnya sendiri. Tidak terkecuali dengan wayang. Wayang merupakan salah  satu kebudayaan khas daerah Jawa khususnya daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Wayang sebagai hasil prestasi puncak masa lalu leluhur di Jawa patut dijadikan milik bersama yang tidak henti-hentinya memukau perhatian orang di dalam maupun di luar negeri (Guritno, 1988:7). Seni sekaligus kebudayaan wayang ini dikenal di hampir seluruh pelosok negeri Indonesia.  Dunia internasional juga sudah mengakui bahwa wayang merupakan kesenian asli dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya pengakuan dari UNESCO kepada pemerintah Indonesia bahwa wayang telah dipatenkan dan diakui sebagai kesenian asli dari Indonesia.
            Media tradisional adalah media komunikasi yang menggunakan seni pertunjukan tradisional, yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat pedesaan (Kementrian Komunikasi dan Informatika, 2011:2). Wayang merupakan salah satu kesenian, kebudayaan sekaligus pertunjukan tradisional yang lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pedesaan di daerah Jawa, oleh karena itu dapat dikatakan wayang merupakan salah satu jenis media tradisional. Seni pertunjukan wayang sebagai media tradisional tidak hanya terdiri dari satu jenis wayang, wayang yang termasuk dalam media tradisional memiliki bermacam-macam jenis, antara lain Wayang Kulit, Wayang Klithik, Wayang Thengul, Wayang Topeng, Wayang Orang, Wayang Suluh, Wayang Jemblung, Wayang Kancil, dan Wayang Bali. Wayang sebagai seni pertunjukan telah disebutkan berfungsi sebagai salah satu media tradisional yang meliputi fungsi sebagai media komunikasi atau penyampai informasi, dan media pengajaran yang tetap mempertahankan sifat klasiknya namun mengandung nilai-nilai universal.
Pertunjukan wayang di Jawa sebelumnya merupakan pertunjukan ritual yang digunakan sebagai media untuk mengundang roh nenek moyang turun ke bumi dengan tujuan agar membantu keturunannya yang ada di dunia.
Dalang yang memainkan pertunjukan pada waktu itu pun tidak mempedulikan apakah pertunjukan yang dimainkannya ditonton oleh orang lain dan tetap mendalang dengan penuh semangat, karena bagi sang dalang memainkan pertunjukan wayang bukan untuk dinikmati ataupun untuk menyampaikan pesan melainkan semata-mata untuk roh Hyang (roh leluhur) (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003:29).
Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya budaya Islam, kepercayaan bahwa pertunjukan wayang dapat memanggil roh leluhur pun semakin memudar. Dengan adanya perkembangan budaya tersebut, saat ini pertunjukan wayang tidak hanya berfungsi sebagai tradisi, namun juga sebagai penyampai pesan atau informasi.
Sesuai tradisinya, pergelaran wayang dilaksanakan semalam suntuk, yaitu mulai dari pukul 21.00 sampai dengan pukul 06.00. Pertunjukan wayang yang semalam suntuk tersebut dibagi menjadi tiga tahapan yaitu pathet nem yang berlangsung dari pukul 21.00 sampai pukul 24.00, pathet sanga berlangsung dari pukul 24.00 sampai pukul 03.00, dan terakhir pathet manyura yang berlangsung dari pukul 03.00 sampai pukul 06.00 (Kanti, Waluya, 2000:37).
Pertunjukan wayang yang digelar semalam suntuk tersebut mengandung pesan dan informasi di setiap bagiannya. Ketiga bagian pertunjukan wayang tersebut mengandung informasi tentang kehidupan manusia di dunia. Pada bagian pertama yaitu pathet nem melambangkan kehidupan manusia pada masa kelahiran dan masa kanak-kanak. Pada bagian ini terdapat adegan kedhaton, paseban jawi, jaranan, perang ampyak dan berakhir dengan perang gagal. Bagian ini menginformasikan kehidupan manusia yang ketika lahir sangat membuat bahagia orang tuanya, diteruskan dengan adegan yang menggambarkan seorang anak yang mulai mengenal dunia luar. Adegan jaranan mencerminkan kehidupan anak-anak manusia di dunia yang belum dewasa dan sifatnya masih seperti binatang, sedangkan adegan perang ampyak  menggambarkan kehidupan anak-anak yang beranjak dewasa, namun dengan kegigihan dan kesabaran akhirnya semua kesulitan dan hambatan dapat diatasi. Adegan terakhir  pada bagian pathet nem ini menggambarkan bahwa seorang anak yang kurang mendapat bimbingan dari orang tuanya akan tumbuh menjadi anak yang dewasa namun  masih memiliki watak yang murka, emosional, dan penuh nafsu, sehingga belum mempunyai tujuan hidup yang pasti.
            Adegan pada pathet sanga  terdiri dari adegan goro-goro, adegan pertapaan, perang kembang, dan adegan sintren. Secara keseluruhan adegan dalam bagian pathet sanga ini menggambarkan tentang kehidupan manusia yang telah beranjak dewasa dan mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan dan untuk mendidiknya. Dalam bagian ini juga menggambarkan kehidupan manusia dewasa yang sudah bisa mengendalikan dirinya dan melawan hawa nafsunya. Adegan ini sepenuhnya menggambarkan manusia yang sudah mapan dan sudah memiliki tujuan hidup.
            Bagian terakhir pada pertunjukan wayang yaitu pathet manyura terdiri dari adegan jejer manyura, perang brubuh, dan tancep kayon. Adegan pada bagian ini dimulai dari manusia yang berusaha mewujudkan tujuan hidupnya diteruskan dengan perang brubuh yang menggambarkan bahwa manusia telah dapat menyingkirkan semua rintangan yang menghalanginya. Adegan terakhir pada bagian ini melambangkan manusia yang sudah meninggalkan dunia menuju ke akhirat yang abadi. Uraian tentang bagian wayang pathet nem,pathet sanga dan pathet manyura tersebut menjelaskan bahwa seni pertunjukan wayang dapat juga digunakan sebagai media penyampai informasi terutama mengenai kehidupan manusia di dunia sampai kematiannya.
            Pertunjukan wayang tidak hanya bisa mengomunikasikan informasi-informasi mengenai kehidupan manusia di dunia, namun pertunjukan wayang juga bisa menjadi media pengajaran bagi anak-anak maupun orang dewasa. Dengan mengenalkan anak terhadap dunia pewayangan maka akan lebih mudah mengomunikasikan pesan yang dikandung dalam tokoh maupun cerita pewayangan tersebut. Dalam pewayangan, tokoh bernama Arjuna tentu sangat familiar. Dalam pementasan Wayang Wong gaya Yogyakarta tokoh yang menggunakan ragam tari impur dan kambeng melambangkan ksatria-ksatria yang memiliki perwatakan sederhana, jujur, tidak banyak tingkah tetapi kokoh (Soedarsono, 2000:72). Contohnya adalah Arjuna yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai ksatria ideal yang mempunyai wajah tampan, sifatnya halus, tidak banyak tingkah namun memiliki daya tempur yang sangat hebat. Selain Arjuna ada juga Wrekudara dan Gathotkaca yang keduanya memiliki watak sederhana, jujur, namun kekuatannya luar biasa. Dengan mengambil contoh tokoh-tokoh wayang seperti diatas pendidikan atau pengajaran terhadap anak bisa dilakukan lewat pertunjukan wayang dengan menjelaskan bagaimana dalang mengomunikasikan pesan tentang watak-watak wayang yang pantas ditiru maupun tidak pantas untuk ditiru tersebut.
            Menurut Emha Ainun Najib, dalang sebaiknya memerankan dirinya sebagai pemimpin moral atau guru moral yang melalui garap pakelirannya menyampaikan nilai-nilai moral dan kebenaran sebagaimana “Begawan” (Rustopo, 1998:50-51). Memang selain sebagai media yang bisa digunakan sebagai penyampai informasi dan pendidikan bagi anak, wayang juga berfungsi sebagai media pendidikan dalam bidang lain, yaitu pendidikan moral. Pada perang Bharatayuda contohnya, pada waktu Arjuna sampai di medan pertempuran, mendadak semangatnya untuk berperang hilang. Hatinya luluh dan menjadi sedih. Ia merasa tidak tega untuk menyerang saudara-saudaranya (Kurawa) dan guru-guru yang pernah mendidiknya dulu. Namun ketika perasaan itu menghampiri Arjuna, Kresna memperingatkan Arjuna bahwa dirinya adalah seorang ksatria, dan seorang ksatria tidak boleh mundur dari medan pertempuran karena perang tersebut adalah perang untuk memerangi watak angkara murka meskipun itu saudara atau teman Arjuna sendiri. Mendengar saran dari Kresna tersebut, semangat perang Arjuna yang hilang tiba-tiba pulih kembali dan ia menjadi bersemangat untuk bertempur dengan Kurawa.
            Adegan di atas tentu mengundang pertanyaan bagi penontonnya, Bagaimana jika Arjuna jadi tidak ikut berperang? Bagaimana jika akhirnya perang tersebut dapat dicegah? pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab dalam adegan perang Bharatayuda dan masih tidak diketahui juga apakah lebih baik atau tidak jika perang besar tersebut tidak sampai terjadi. Yang diketahui hanyalah Arjuna tetap mengikuti perang tersebut tanpa memikirkan kembali apa yang sempat mengganggu pikirannya sebelumnya. Melihat adegan tersebut seperti berkaca pada kehidupan manusia secara nyata. Dalam kehidupan nyata manusia sering dihadapkan pada situasi dimana seseorang harus bisa mengambil sebuah keputusan dan orang tersebut merasa bimbang harus mengambil keputusan yang mana. Meskipun merasa bimbang orang tersebut akan tetap mengambil keputusan tersebut meski belum tahu apa konsekuensi dari keputusan yang diambil dan juga tidak akan pernah tahu apa konsekuensi lain jika keputusan itu tidak diambil.
            Adegan Arjuna dalam perang Bharatayuda di atas menggambarkan bahwa wayang begitu dekat dengan kehidupan manusia yang nyata. Dalam pewayangan menggambarkan model-model hidup dan kelakuan manusia yang dengan jelas menunjukkan problem-problem yang dihadapi manusia di dunia nyata. Contoh adegan tersebut saja sudah menunjukkan pelajaran moral yang penting.
Moral wayang adalah moral yang konkret, dan sebagai itu moral wayang bersifat kompleks. Ibarat dalam sebuah model, wayang membuka kemungkinan-kemungkinan tindakan manusiawi bagi kita. Moral wayang memberi kita pengertian tentang keanekaan hidup manusia, tentang beratnya tanggung jawab yang termuat dalam pengambilan setiap keputusan, tetapi ia tidak memutuskan sesuatu bagi kita. Kita sendiri harus memutuskan apa yang menjadi kewajiban kita masing-masing (Magnis, 1991:5).
Dengan kata lain, pertunjukan wayang dan tokoh-tokohnya memberikan pelajaran moral bagi manusia lewat peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya.
            Di Keraton Yogyakarta sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792) sampai Sultan Hamengku Buwana VIII (memerintah 1921-1939) Wayang Wong menjadi salah satu pusat perhatian para sultan (Soedarsono, 1997:29). Memang pada zaman itu pertunjukan wayang terutama Wayang Wong hanya dinikmati oleh kalangan bangsawan keraton, karena pada masa itu pertunjukan wayang bisa memakan waktu sampai empat hari. Namun sekarang pertunjukan wayang wong sudah memasyarakat dan bisa dinikmati oleh siapapun, waktu pertunjukannya pun dipersingkat tidak selama zaman dulu. Hal ini membuktikan bahwa wayang mulai memasyarakat dan tidak hanya digunakan sebagai hiburan para bangsawan keraton tetapi juga digunakan sebagai media komunikasi masyarakat dalam bentuk penyampaian informasi, pengajaran, maupun pendidikan moral.
            Wayang tidak hanya sebagai media tradisional, wayang juga bisa menjadi media modern, meskipun tidak banyak yang mengakuinya. Pada masa kemerdekaan antara tahun 1945-1949, pemerintah Indonesia sedang berjuang untuk mempertahankan nasionalisme Bangsa Indonesia. Perjuangan untuk memantapkan nasionalisme itu wayang kulit sangat efektif (Soedarsono, 2003:213). Hal tersebut dikarenakan pada saat itu masyarakat Indonesia masih banyak yang buta huruf, dan pemerintah menggunakan wayang kulit sebagai media propaganda yang pada saat itu masih merupakan salah satu kegiatan komunikasi modern.
            Pertunjukan wayang sebagai media komunikasi klasik yang menghadirkan berbagai fungsi seperti sebagai penyampai informasi, pengajaran, maupun pendidikan moral tidak hanya menggunakan nilai-nilai klasik atau tradisional. Pertunjukan wayang juga menghadirkan nilai-nilai yang universal seperti penggambaran tentang kehidupan manusia, perilaku yang baik yang harus dipilih oleh manusia, hal-hal tersebut tidak hanya dipakai dalam masyarakat Jawa, tetapi berlaku juga bagi masyarakat dunia secara universal. Baik masyarakat Jawa maupun masyarakat di belahan dunia lain akan mengakui bahwa nilai-nilai moral yang baik memang harus dijalani dan dikembangkan.



















Daftar Pustaka
Guritno, Pandam, 1988, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, Jakarta: UI Press.
Haditjaroko, Sunardjo, 1993, Ramayana Indonesian Wayang Show, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Kanti-Waluya, 2000, Dunia Wayang: Nilai Estetis, Sakralitas, dan Ajaran Hidup,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kapanlagi.com,2012,Batik Dipatenkan, Eko Patrio Bersyukur, http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/batik-dipatenkan-eko-patrio-bersyukur.html, diakses pada tanggal 29 Oktober 2012 pukul 10.05 WIB.
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata,2003, Seni pertunjukan Tradisional: Nilai, Fungsi, dan Tantangannya, Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata.
Kementrian komunikasi dan Informatika RI, 2001, Wayang Sebagai Media Komunikasi Tradisional Dalam Diseminasi Informasi, Jakarta: Kementiran Komunikasi Dan Informatika RI).
Magniz-Suseno, Franz, 1991, Wayang dan Panggilan Manusia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rustopo, 1998, Peran Dalang di Era Reformasi, dalam Gelar Nomor 1 tahun 1/1998. Halaman 45-52.
Soedarsono,1997, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers.
Soedarsono,2000, Masa Gemilang dan Memudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta, Yogyakarta: Tarawang Press.
Soedarsono, 2003, Seni Pertunjukan Dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, : Gadjah Mada University Pers.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Coretan Pena