#BridgingCourse8
Beberapa
waktu yang lalu sedang marak pemberitaan media mengenai terorisme di Solo. Baik
media cetak, elektronik, maupun media online berlomba-lomba untuk memberitakan
terorisme di Solo, mulai dari motif para pelaku terorisme hingga para pelaku
terorisme yang belakangan diketahui masih duduk di sekolah menengah atas di
Solo. Berbagai media lokal maupun nasional berlomba-lomba mendapat rating yang
tinggi dari masyarakat yang haus informasi dengan memberitakan rentetan
kejadian terorisme di Solo tersebut. Media online bahkan ada yang menerbitkan
berita yang sama di hari yang berbeda dengan asumsi agar pembaca yang
sebelumnya belum membaca bisa membaca pada hari tersebut.
Pemberitaan
media massa tentang terorisme yang terjadi di Solo beberapa waktu lalu atau
secara umum tentang kegiatan terorisme di Indonesia terkadang sangat
berlebihan. Media berusaha menampilkan berita tentang terorisme semenarik mungkin
untuk menarik para konsumen media. Namun demikian media kadang tidak begitu
memperhatikan kapasitas pemberitaan tentang terorisme tersebut. Media terkadang
melupakan pentingnya fakta, tigkat keakuratan dan sudut pandang yang digunakan.
Media terkadang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan
adanya pemberitaan media yang berlebihan tersebut justru akan memicu munculnya
kagiatan-kegiatan terorisme atau tindakan kekerasan yang lain. Contohnya dalam
kasus terorisme di Solo beberapa waktu lalu, menurut media online Kompas.com,
Polri memastikan bahwa rentetan kasus terorisme di Solo selama bulan Agustus
bermotif balas dendam terhadap pihak kepolisian. Mereka melakukan aksi tersebut
karena balas demdam terhadap tokoh-tokoh mereka terdahulu yang ditangkap oleh
polisi. Dengan adanya kasus tersebut jika media terlalu berlebihan dalam
memberitakan tentang terorisme tersebut masyarakat yang sebelumnya tidak tahu
menjadi tahu, dan keluarga pelaku yang mengetahui berita di media tersebut
merasa tersinggung dengan pemberitaan yang kadang membuat mereka marah. Dengan keadaan
yang demikian dapat memicu tindakan terorisme ataupun tindakan kekerasan lain
yang bermotif rasa tidak terima dan balas dendam terhadap pemberitaan media.
Terorisme
tidak selalu bermotifkan agama atau dalam istilah agama Islam sering disebut
berjihad. Terkadang terorisme tersebut sengaja diciptakan untuk memperoleh
perhatian dari publik, dalam hal ini terorisme digunakan sebagai media
propaganda yang bersenjata. Di Eropa, para teroris profesional seperti IRA dan
Basque ETA mempunyai kebijakan yang mengejutkan. Sebelum meluncurkan aksi
terorisme, mereka berusaha menghubungi kemanan setempay untuk mengevakuasi
sebanyak mungkin penduduk di sekitar lokasi pengeboman sehingga korban yang
jatuh dalam angka yang minimal. Para teroris juga sudah mengundang beberapa
wartawan dari beberapa media dan memastikan mereka mengambil foto saat kegiatan
pengeboman itu terjadi tetapi tetap dalam jarak yang aman. Sebagai contoh
peristiwa terorisme yang terjadi pada 11 September 2001 di New York dan Washington,
kejadian tersebut telah direncanakan Osama bin Laden dengan bekerjasama dengan
media yang nantinya akan memberitakan bahwa kejadian tersebut telah menjatuhkan
banyak korban dan juga pembuatan video yang salah satu isi dari video tersebut
pernyataan Osama bin Laden dan pengikutnya yang menghendaki perang suci dengan
Amerika Serikat. Sama seperti yang dilakukan Osama bin Laden, presiden Amerika
Serikat saat itu, Bush pun menggunakan pemberitaan media untuk memperoleh
dukungan dari Negara-negara lain dengan melebih-lebihkan kejadian terorisme
yang terjadi di New York dan Washigton tersebut sehingga terjadilah perang
antara Amerika Serikat dengan Afghanistan yang secara implisit menggunakan
pemberitaan media sebagai perantaranya.
Seperti
yang telah diuraikan dari kasus-kasus di atas, sacara tidak langsung media dan
terorisme menjalin suatu hubungan simbiosis. Terdapat dua kemungkinan simbiosis
yang dapat terjadi dalam hubungan antara pemberitaan media dan terorisme ini. Pertama,
hubungan simbiosis komensalisme. Dalam hal ini media mendapat keuntungan dengan
adanya kejadian terorisme yang bisa mereka liput segala sesuatu yang
berhubungan dengan terorisme tersebut tidak peduli itu terlalu berlebihan atau
tidak, mereka hanya mementingkan antusias dan rating dari masyarakat terhadap
mereka, sedangkan pelaku teroris tidak mendapat keuntungan juga tidak merugi,
karena motif mereka memang murni untuk berjihad di jalan agama. Para pelaku
teroris dengan motif seperti ini jarang yang mempedulikan media, yang ada di
pikiran mereka hanyalah melenyapkan segala bentuk kemaksiatan di dunia ini atas
dasar syariat agama Islam yaitu berjihad.
Kedua,
hubungan simbiosis mutualisme. Dalam kasus simbiosis ini media dan terorisme
sama-sama mendapat keuntungan. Media mendapat bahan pemberitaan yang akan
menaikkan rating mereka di mata masyarakat, dan tentunya mereka akan mendapat
keuntungan yang jauh lebih banyak daripada menampilkan berita-berita yang
biasa-biasa saja. Pada simbiosis mutualisme ini, teroris yang diuntungkan
adalah teroris yang menggunakan media sebagai sarana propaganda mereka seperti
pada kasus 11 September 2001 di atas. Selain teroris tersebut, teroris yang
membutuhkan pengakuan public, eksistensi, dan untuk kepentingan politik mereka
akan merasa sangat diuntungkan dengan pemberitaan media yang terkadang
berlebihan tersebut. Dengan adanya hubungan tersebut muncul anggapan bahwa
media telah bekerja sama dengan para teroris tersebut atau bahkan salah satu
diantara mereka.
Teroris
yang membutuhkan pengakuan public dan eksistensi terkadang tidak peduli
terhadap korban yang menjadi sasarannya. Terkadang mereka yang tidak termasuk
dalam kategori sasaran ikit terkena dampak dari aksi terorisme tersebut
meskipun hanya luka-luka ataupun hanya sebagai korban sanderaan. Namun hal
tersebut akan cukup membuat korban tersebut mengalami trauma yang
berkepanjangan, apalagi jika ditambah dengan pemberitaan media yang terlalu
berlebihan yang bisa menyebabkan trauma yang dialami korban tersebut bertahan
dalam waktu yang cukup lama. Seharusnya media bisa bersikap lebih profesional
dengan memperhatikan fakta yang ada dan tidak melebih-lebihkan pemberitaan,
dalam hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan
tidak menguntungkan para teroris yang gila eksistensi.
Daftar Pustaka
Prajarto, Nunung, 2004, Terorisme dan Media Masa:
Debat Keterlibatan Media, http://jurnalsospol.fisipol.ac.id/index.php/jsp/article/view/194/189, diakses tanggal 28 September 2012 jam 17.25 WIB.
Shpiro, Shlomo, Strategi Konflik Media dan Politik
Melawan Terorisme, http:// www.shoutussalam.com/read/in-depth/12477/strategi-konflik-media-dan-politik-melawan-terorisme,
diakses tanggal 13 Oktober 2012 jam 21.00 WIB.
http://sejuk.org/berita/61-berita/109-pemberitaan-terorisme-jangan-jadi-pemicu-munculnya-terorisme-baru.html,
diunggah pada tanggal 4 Agustus 2011 jam 10.10 WIB.
Gatra, Sandro, 2012, Polri: Motif Teroris Solo Balas
Dendam, http://nasional.kompas.com/read/2012/09/03/11011172/polri.motif.teroris.solo.balas.dendam,
diunggah tanggal 3 September 2012 jam 11.01 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar