AKU MASIH LIMABELAS TAHUN



Namaku Maryam. Maryam yang cantik jelita, Maryam yang cerdas, Maryam yang sabar, dan Maryam yang malang. Ya, Maryam yang sangat malang tepatnya. Entah, siapa yang harus aku salahkan. Apakah kedua orangtuaku yang kolot. Ataukah Tuhan yang tak adil. Penderitaan, kesengsaraan seakan menjadi makanan tiap hari. Siapa yang harus aku salahkan?
###

1996
Mentari mulai merekahkan senyumnya. Seperti aku. Ya! aku yang tersenyum sangat manis. Dengan bangga kupandangi ijazahku. Maryam Nurjanah dinyatakan LULUS dari Sekolah Dasar Negeri 3 Baleka1. Di atas kertas ijazah itu kuukir dengan mantap cita-citaku. Cita-cita seorang gadis berumur 12 tahun. Meniti asa, merajut mimpi di dunia putih-biru. Merasakan indahnya masa-masa putih abu-abu. Hingga bermahkotakan toga dengan bangga.
Lamunanku terbuyarkan oleh panggilan Inaq2. Aku diajaknya bicara dengan Bapak. Aku memanggilnya Bapak karena beliau keturunan Jawa yang merantau ke Lombok. Bagai petir menyambar di siang hari. Seluruh sukmaku bagai lolos dari ragaku. Diam, termangu, dan tak mampu bergerak. Kata-kata Inaq dan Bapak meluluhlantakkan sulaman mimpi-mimpi masa depanku. Inaq bilang perjuanganku cukup sampai disini saja. Bapak bilang aku tak usah sekolah lagi. Aku ingin marah pada mereka. Ingin ku tumpahkan air mata ini. Namun aku takut, takut menyakiti  Inaq dan Bapak. Aku tahu ini berat, tapi aku harus terima. Meski dengan air mata tertahan. Aku harus terima keadaan ini.

Inaq hanyalah golongan Bulu Ketujur3. Inaq sekedar pengenyon yang dioglang. Bapak hanya seorang buruh yang mengabdikan diri di sawah orang. Aku harus sadar. Tak mungkin aku mengenyam pendidikan setinggi itu. Inaq, Bapak makan apa kalau aku nekat sekolah. Tapi kan aku bisa mengajukan beasiswa, aku merajuk. Tapi apalah dayaku. Keputusan Inaq dan Bapak bagai karang di tengah laut. Diterpa ombak berkali-kali pun tak akan goyah. Putuslah asaku, tenggelamlah sinarku. Seperti matahari senja ini, tenggelam dengan sangat sempurna. Sempurna, sesempurna asaku yang ikut tenggelam. Tak bersisa sedikitpun.

1997
-angin menyapu rambutku. aku terkenang kepada apa yang telah terjadi-
Pamplet Cinta- W S Rendra
Aku duduk di pematang sawah. Angin menerpaku, merasuk jiwaku, membisikkan ingatan-ingatan masa lalu. Bak cinta bertepuk sebelah tangan, sakit! Memandang Bapak mencangkul di sawah orang. Menunggui kiriman4 dari Inaq. Kulihat dua gadis lewat di seberang jalan. Berseragam putih-biru. Hatiku berdesir, iri!. Seharusnya aku bisa seperti mereka. Seketika keinginan untuk sekolah kembali bergejolak. Terbesit ide brilian -setidaknya menurutku-. Aku masih tetap ingin sekolah!. Hatiku berteriak. Mengapa Inaq dan Bapak tak mau mendengarkan. Bukankah seharusnya mereka bangga. Punya anak yang melek pendidikan
Tekadku bulat. Aku ingin meneruskan sekolahku. Aku akan pergi dari rumah, aku akan berjuang meraih mimpi-mimpiku. Berjuang sendiri tak masalah bagiku. Kutulis surat untuk Inaq dan Bapak.

-Teruntuk Inaq dan Bapak-
Maafkan Maryam Inaq
Selama setahun Maryam mencoba mengubur asa-asa Maryam untuk sekolah
Tapi Maryam tak bisa
Keinginan itu semakin kuat Inaq
Maafkan Maryam Bapak 
Maryam tak berbakti pada Bapak dan Inaq
Maryam ingin mengangkat derajat kita
Maafkan Maryam Inaq, Bapak
Maryam pergi dari rumah untuk memperjuangkan asa Maryam
Restuilah Maryam
Doakan Maryam berhasil

anakmu

Maryam

Dengan sejumput nasi kutempel surat itu di depan pintu. Aku harus segera pergi.  Sebelum Inaq dan Bapak pulang, sebelum matahari tenggelam lagi
Akulah Maryam. Gadis 13 tahun, masih sangat belia bukan? Aku terduduk di pinggir jalan di  Mataram. Sepasang suami istri berlalu di depanku. Mereka memandang iba. Memang sudah dua hari aku tak mandi, tak mengisi perut pula. Tiba-tiba kudengar langkah kaki mendekat. Wanita dan pria paruh baya mendekatiku. Aku bingung, sempat takut. Namun semua kebingunganku terjawab sudah. Seperti kata pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Mungkin ini jawaban Tuhan dari doa-doaku selama ini. Aku bisa sekolah lagi! Ya, sepasang manusia itu mewujudkan mimpi-mimpiku. Mereka bersedia menampung dan menyekolahkanku. Ingin rasanya aku berseru kencang. Ingin kukabarkan berita bahagia ini pada Inaq dan Bapak. Namun kedua orang tua baruku mencegahku. Mereka bilang akan mengangkatku sebagai anak selamanya. Senang rasanya, tetapi juga pilu hatiku. Namun keinginanku terlalu kuat. Tak bertemu dengan Inaq dan Bapak sementara taka pa pikirku. Toh ini jug buat mereka. Tak pernah terbayangkan olehku, Inaq dan Bapak yang mungkin sedih kutinggal.
Aku Maryam Nurjanah. Resmi menjadi siswi SMP Negeri 6 Mataram. Senyum bangga terukir dibibir merahku. Seketika aku lupa. Lupa dengan inaq dan Bapak di rumah. Dikatakan durhaka mungkin iya. Aku terlalu terlena dengan semua ini. Terlena dengan janji-janji kehidupan masa depan disini

1998
Tuhan memang adil. Tuhan memang sempurna. Takdirnya tak dapat diubah. Saying, aku tak pernah sadar akan hal itu. Telau terlena dengan dunia putih-biru. Seperti kacang lupa akan kulitnya, aku lupa dengan inaq dan bapak. Terlena dengan janji-janji kehidupan ini.
Reformasi 1998
Semua stasiun televisi menayangkan peristiwa tersebut. Para mahasiswa berdemo, penjarahan kepada tionghoa terjadi dimana-mana. Rasa takut, khawatir menderaku. Kedua orang tua angkatku keturunan tionghoa. Mereka juga merasakan ketakutan yang sama.
Tuhan, aku mohon lindungi mereka
Mungkin doaku terkabul. Sayang, Tuhan punya rencana lain. Tahun ini, 1998. Krisis moneter terjadi dimana-mana, termasuk di Lombok. Banyak perusahaan gulung tikar. Para pekerja di PHK. Penjarahan juga terjadi dimana-mana. Sekali lagi Tuhan memang adil. Tuhan memang sempurna, dan takdirnya tak dapat diubah oleh siapapun. Dampak krisis moneter akhirnya aku rasakan juga. belum sempat aku selesaikan mimpi-mimpiku di putih-biru. Belum sempat akku merajut mimpi-mimpi putih abu-abu di atas kertas ijazahku nanti. Kini Tuhan mengambil semuanya. Ya, semuanya. Mimpi-mimpiku, cita-citaku, semuanya!
Usaha orang tuaku gulung tikar. Inflasi tinggi yang melanda negeri ini memaksa mereka menjual seluruh asset perusahaannya. Rencana Tuhan memang tidak bisa ditebak. Perasaan sakit itu. Perasaan sakit dua tahun lalu. Bak petir menyambar di siang hari. Lagi-lagi kurasakan sukmaku bergetar sakit. Kali ini bukan Inaq dan Bapak yang melakukannya. Tetapi mereka! Ya, mereka yang memungutku dipinggir jalan. Mereka yang mewujudkan mimpi-mimpi putih-biruku –setidaknya selama setahun-. Mereka pula yang merenggut mimpi-mimpiku.
Uang duapuluhribuan diberikan padaku. Jumlah yang tidak sedikit waktu itu, tetapi tak sebanding dengan mimpi-mimpiku yang terenggut. Mereka, orangtua angkatku akan kembali ke China. Tak ada lagi yang tersisa di sini, di Mataram ini. Semua usaha mereka gulung tikar. Mereka memutuskan untuk mengembalikanku. Mengenbalikan aku ke asalku, ke Lombok. Dan kembalilah aku seperti dulu. Sendiri. Maryam, gadis empatbelas tahun. Terduduk dipinggir jalan di Mataram. Terlintas keinginan untuk pulang ke rumah inaq dan bapak. Kuurungkan, mereka pasti marah pikirku.
-angin menerpa rambutku
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi-
Pamplet cinta

Aku memang terkenang pada apa yang telah terjadi. Termenung, melamun, tak tahu harus berbuat apa. Semangatku patah lagi. Mataku menatap sesosok yua. Wajahnya sangat familiar. Inaq! Ya, itu inaq, pekikku dalam hati. Kupanggil inaq, kupeluk, bersimpuh aku dikakinya, menangis. Tubuhnya kini kurus, lebih kurus dari terakhir aku melihatnya. Ubannya semakin banyak. Maafkan aku Inaq, aku tak mendengar nasehatmu. Maafkan aku Inaq, aku meninggalkanmu. Inaq menangis, sungguh aku merasa hina telah meninggalkannya. Inaq membujukku pulang ke rumah. Sejenak aku merajuk, teringat mimpi-mimpiku. Bagaimana dengan sekolahku? Bagaimana dengan cita-citaku? Inaq semakin meneteskan air matanya. Bibirnya dengan lembut melantunkan wejangan-wejangan yang membuatku luluh. Ternyata aku salah. Aku pikir inaq murka karena kedurhakaanku. Ternyata aku salah. Inaq sungguh baik hati. Kutinggalkan cita-cita dan asaku di Mataram. Aku pulang ke Baleka, rumah inaq dan Bapak. Entah apa lagi yang menyambutku nanti. Rahasia Tuhan memang tak tertebak.

1999- Januari
Aku Maryam Nurjanah. Gadis jelita yang berumur limabelas tahun bulan depan. Sesuai adat di kampungku, harusnya aku sudah menikah tetapi aku tak mau menikah di usia muda. Perawan tua! Olok-olok penduduk kampong. Julukan itu tak masalah bagiku. Aku tak mau menikah di usia limabelas tahun. Meskipun inaq dan bapak juga sudah memaksa. Hidupku masih panjang inaq, bapak! Tolong hargai keputusanku. Tak apa aku tak sekolah. Aku sudah mengubur dalam-dalam keinginan itu. Aku ingin cari uang dulu, tak ingin nikah muda. Toh aku kerja juga buat bantu inaq dan bapak. Inaq dan bapak luluh, mereka tak memaksaku lagi. Sedikit melegakan hatiku yang hampir hancur lagi.
-Februari-
Sebulan lebih aku banting tulang. Kini aku genap berusia limabelas tahun. Bekerja, membantu inaq sesekali di Mataram. Lambat laun kesedihanku terhapuskan, atau lebih tepatnya tertimbun kesibukanku. Semangatku pulih kembali. Aku kembali meniti hidupku dengan senyuman. Namun, untuk kesekian kalinya takdir Tuhan memang tak tertebak. Baru sebentar aku merasa bahagia. Baru sebentar aku tersenyum. Tuhan mengambil Bapak. Bapak yang tangguh, bapak juga yang ternyata terserang TBC. Sungguh mengguncang jiwaku dan inaq. Betapa tidak, bapak yang pergi ke sawah setiap hari, bapak yang banting tulang demi sesuap nasi kini pergi, pergi meninggalkan aku dan inaq. Tuhan. Mengapa kau berikan cobaan ini padaku. Tak kuat rasanya. Baru sebentar aku menikmati hidupku kembali, kini harus ternoda lagi oleh cobaanMu, ternoda oleh kepergian Bapak. Kini tinggal aku dan inaq berjuang melawan kejamnya dunia. Inaq pun tak seperti dulu. Inaq menjadi pendiam, inaq menjadi muram, inaq sangat kehilangan bapak. Sedih, sakit melihat inaq yang murung setiap hari. Kini tinggal aku. Aku Maryam Nurjanah harus berjuang menghidupi inaq, mencari sesuap nasi menggantikan bapak. Tanpa inaaq yang sekarang depresi berat. Betapa tidak sakit hatiku melihat semua kejadian ini. Pasrah. Kuserahkan semua padamu Tuhan.
-Maret-
Berat. Hidupku bertambah berat, Tuhan. Bahkan lebih berat dari apa yang aku bayangkan. Inaq memanggilku. Inaq yang kini semakin memburuk keadaannya. Inaq menuturkan isi hatinya. Entah untuk keberapa kalinya, seluruh sukmaku bagai lolos dari ragaku. Inaq memintaku kawin! Kawin diusia limabelastahun. Sangat tidak bisa aku terima. Lagi-lagi inaq merajuk. Baru aku tahu ternyata inaq punya utang dengan Juragan Badrun. Juragan Badrun si lintah darat. Tak kusangka inaq berurusan dengan orang itu. Jika bukan karena inaq, aku mungkin sudah bunuh diri. Aku mungkin sudah mengakhirinya sampai disini. Inaq memintaku kawin dengan Badrun biadab itu. Belum sembuh luka kehilangan bapak, kini aku harus menikah dengan Badrun. Sunggu kejam takdir Tuhan. Sungguh aku ingin menolak. Sungguh aku ingin berontak.
“inaq, dengarkan aku inaq! Ini bukan zaman Siti Nurbaya inaq. Sungguh aku tak rela dipersunting Badrun”, rajukku.
Entah untuk keberapa kalinya inaq merajuk di hadapanku.
“Aku pun tak rela anakku”,katanya.
Rumah. Ya, rumah satu-satunya milik Inaq raib jika aku tak mau dipersunting Badrun, dan kami harus tinggal dimana? Sungguh aku merasa menjadi Siti Nurbaya di era reformasi ini. Di era reformasi yang serba maju, namun hak-hak rakyat biasa masih terpaku. Sungguh aku benar-benar merasakan perasaan itu.
-April-
Hari ini aku menikah dengan Badrun. Sungguh berat rasanya hati ini. Inaq tersenyum getir. Aku tahu, aku tahu Inaq, engkau pun tak rela. Biarlah, biarlah Inaq. Anggap saja ini permintaan maafku. Aku yang dulu meninggalkanmu Inaq. Inaq tersenyum memelukku, hangat. Kubiarkan air mataku menetes.
Sekarang resmilah aku menjadi istri si Badrun. Badrun si buaya. Entah sudah berapa wanita dikawininya lantas ditalak olehnya, dan sekarang akulah yang menjadi istrinya. Keperawananku harus kuserahkan padaBadrun si biadab itu. Keperawanan yang aku jaga selama limabelas tahun. Keperawanan yang ingin aku persembahkan pada dia, dia yang aku cinta, bukan Badrun! Sungguh aku tak rela Tuhan.
-Oktober-
Sungguh besar kuasaMu Tuhan. Tidak ada yang mampu menebak takdirmu. Tak henti-hentinya Kau berikan cobaan pada hambamu ini. Inaq menghembuskan nafas terakhirnya. Nafas terakhir Ibunda yang mulia. Disaat aku tengah bunting. Disaat aku butuh Inaq. Kau ambil inaqku Tuhan. Ini semua sungguh tak adil. Kini tinggallah aku sendiri. Maryam Nurjanah yang malang, hidup bersama lelaki hidung belang.
###
Akulah Maryam Nurjanah. Kini aku tak lagi gadis. Aku seorang wanita berumur limabelas tahun. Seorang wanita yang hidup bersama lelaki hidung belang. Seorang wanita yang terus-terusan disiksa suaminya, karena tak menuruti nafsu birahinya. Jenuh, jengah, dan sakit. Tamparan, pukulan, dan sayatan. Itulah yang aku dapat selama menjadi istri Badrun. Tak tahan, sungguh aku tak tahan. Aku ingin keluar dari kehidupan ini. Keluar dari buaya itu.
Kulangkahkan kakiku. Aku akan berjuang. Berjuang sendiri. Berjuang bersama jabang bayiku. Kulangkahkan kakiku. Menuju kehidupan lebih baik. Aku harus bertahan. Aku yakin Tuhan punya rencana lain, entah rencana yang lebih baik atau sebaliknya. Langkah kakiku terhenti dihadapan dua gundukan tanah. Dua gundukan tanah di kuburan. Aku bersimpuh, menangis. Lihatlah! Lihatlah inaq, lihatlah Bapak. Ini aku. Aku Maryam Nurjanah. Maryam Nurjanah yang malang. Maryam Nurjanah yang masih limabelas tahun. Maryam Nurjanah yang seharusnya masih sekolah. Maryam Nurjanah yang pernah durhaka. Maryam Nurjanah yang kini sendirian.
Aku akan berjuang Inaq, Bapak. Aku akan terus berjuang melawan takdir ini. Sebelum Maryam melangkah, dengarkan aku bicara Bapak, Inaq. Untuk terakhir kalinya. “Inaq, Bapak AKU MASIH LIMABELAS TAHUN”
---

1.merupakan salah satu sekolah dasar negeri di Kabupaten LOBAR yang berada di Pulau Lombok terutama untuk golongan Bulu Ketujur.
2.Inaq, merupakan panggilan ‘ibu’ di beberapa daerah di Pulau Lombok.
3.Bulu ketujur adalah salah satu golongan masyarakat di Lombok Barat yaitu golongan masyarakat biasa yang dahulu adalah hulubalang sang raja yang pernah berkuasa di Lombok.
4. Kiriman ini diartikan sebagai kiriman makanan untuk orang yang sedang bekerja di sawah atau lading.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Coretan Pena