Namaku Maryam. Maryam yang
cantik jelita, Maryam yang cerdas, Maryam yang sabar, dan Maryam yang malang.
Ya, Maryam yang sangat malang tepatnya. Entah, siapa yang harus aku salahkan.
Apakah kedua orangtuaku yang kolot. Ataukah Tuhan yang tak adil. Penderitaan,
kesengsaraan seakan menjadi makanan tiap hari. Siapa yang harus aku salahkan?
1996
Mentari mulai merekahkan
senyumnya. Seperti aku. Ya! aku yang tersenyum sangat manis. Dengan bangga
kupandangi ijazahku. Maryam Nurjanah dinyatakan LULUS dari Sekolah Dasar Negeri
3 Baleka1. Di atas kertas ijazah itu kuukir dengan mantap
cita-citaku. Cita-cita seorang gadis berumur 12 tahun. Meniti asa, merajut
mimpi di dunia putih-biru. Merasakan indahnya masa-masa putih abu-abu. Hingga
bermahkotakan toga dengan bangga.
Lamunanku terbuyarkan oleh
panggilan Inaq2. Aku diajaknya bicara dengan Bapak. Aku
memanggilnya Bapak karena beliau keturunan Jawa yang merantau ke Lombok. Bagai
petir menyambar di siang hari. Seluruh sukmaku bagai lolos dari
ragaku. Diam, termangu, dan tak mampu bergerak. Kata-kata
Inaq dan Bapak meluluhlantakkan sulaman mimpi-mimpi masa depanku. Inaq
bilang perjuanganku cukup sampai disini saja. Bapak bilang aku tak
usah sekolah lagi. Aku ingin marah pada mereka. Ingin ku
tumpahkan air mata ini. Namun aku takut, takut menyakiti Inaq
dan Bapak. Aku tahu ini berat, tapi aku harus terima. Meski
dengan air mata tertahan. Aku harus terima keadaan ini.
Inaq hanyalah golongan Bulu
Ketujur3. Inaq sekedar pengenyon yang dioglang. Bapak hanya seorang
buruh yang mengabdikan diri di sawah orang. Aku harus sadar. Tak mungkin aku
mengenyam pendidikan setinggi itu. Inaq, Bapak makan apa kalau aku nekat
sekolah. Tapi kan aku bisa mengajukan beasiswa, aku merajuk. Tapi apalah dayaku.
Keputusan Inaq dan Bapak bagai karang di tengah laut. Diterpa ombak
berkali-kali pun tak akan goyah. Putuslah asaku, tenggelamlah sinarku. Seperti
matahari senja ini, tenggelam dengan sangat sempurna. Sempurna, sesempurna
asaku yang ikut tenggelam. Tak bersisa sedikitpun.
1997
-angin menyapu rambutku. aku terkenang kepada
apa yang telah terjadi-
Pamplet Cinta- W S Rendra
Aku duduk di pematang sawah. Angin
menerpaku, merasuk jiwaku, membisikkan ingatan-ingatan masa lalu. Bak cinta
bertepuk sebelah tangan, sakit! Memandang Bapak mencangkul di sawah orang.
Menunggui kiriman4 dari Inaq. Kulihat dua gadis lewat di seberang
jalan. Berseragam putih-biru. Hatiku berdesir, iri!. Seharusnya aku bisa
seperti mereka. Seketika keinginan untuk sekolah kembali bergejolak. Terbesit
ide brilian -setidaknya menurutku-. Aku masih tetap ingin sekolah!. Hatiku
berteriak. Mengapa Inaq dan Bapak tak mau mendengarkan. Bukankah seharusnya
mereka bangga. Punya anak yang melek pendidikan
Tekadku bulat. Aku ingin
meneruskan sekolahku. Aku akan pergi dari rumah, aku akan berjuang meraih
mimpi-mimpiku. Berjuang sendiri tak masalah bagiku. Kutulis surat untuk Inaq
dan Bapak.
-Teruntuk Inaq dan Bapak-
Maafkan Maryam Inaq
Selama setahun Maryam mencoba mengubur asa-asa
Maryam untuk sekolah
Tapi Maryam tak bisa
Keinginan itu semakin kuat Inaq
Maafkan Maryam Bapak
Maryam tak berbakti pada Bapak dan Inaq
Maryam ingin mengangkat derajat kita
Maafkan Maryam Inaq, Bapak
Maryam pergi dari rumah untuk memperjuangkan
asa Maryam
Restuilah Maryam
Doakan Maryam berhasil
anakmu
Maryam
Dengan
sejumput nasi kutempel surat itu di depan pintu. Aku harus segera pergi. Sebelum Inaq dan Bapak pulang, sebelum matahari
tenggelam lagi
Akulah
Maryam. Gadis 13 tahun, masih sangat belia bukan? Aku terduduk di pinggir
jalan di Mataram. Sepasang suami istri berlalu di depanku. Mereka
memandang iba. Memang sudah dua hari aku tak mandi, tak mengisi perut pula. Tiba-tiba
kudengar langkah kaki mendekat. Wanita dan pria paruh baya mendekatiku. Aku
bingung, sempat takut. Namun semua kebingunganku terjawab sudah. Seperti kata
pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Mungkin ini jawaban Tuhan dari doa-doaku
selama ini. Aku bisa sekolah lagi! Ya, sepasang manusia itu mewujudkan
mimpi-mimpiku. Mereka bersedia menampung dan menyekolahkanku. Ingin rasanya aku
berseru kencang. Ingin kukabarkan berita bahagia ini pada Inaq dan Bapak. Namun
kedua orang tua baruku mencegahku. Mereka bilang akan mengangkatku sebagai anak
selamanya. Senang rasanya, tetapi juga pilu hatiku. Namun keinginanku terlalu
kuat. Tak bertemu dengan Inaq dan Bapak sementara taka pa pikirku. Toh ini jug
buat mereka. Tak pernah terbayangkan olehku, Inaq dan Bapak yang mungkin sedih
kutinggal.
Aku Maryam Nurjanah. Resmi
menjadi siswi SMP Negeri 6 Mataram. Senyum bangga terukir dibibir merahku.
Seketika aku lupa. Lupa dengan inaq dan Bapak di rumah. Dikatakan durhaka
mungkin iya. Aku terlalu terlena dengan semua ini. Terlena dengan janji-janji
kehidupan masa depan disini
1998
Tuhan memang adil. Tuhan
memang sempurna. Takdirnya tak dapat diubah. Saying, aku tak pernah sadar akan
hal itu. Telau terlena dengan dunia putih-biru. Seperti kacang lupa akan
kulitnya, aku lupa dengan inaq dan bapak. Terlena dengan janji-janji kehidupan
ini.
Reformasi 1998
Semua stasiun televisi
menayangkan peristiwa tersebut. Para mahasiswa berdemo, penjarahan kepada
tionghoa terjadi dimana-mana. Rasa takut, khawatir menderaku. Kedua orang tua
angkatku keturunan tionghoa. Mereka juga merasakan ketakutan yang sama.
Tuhan, aku mohon lindungi mereka
Mungkin doaku terkabul.
Sayang, Tuhan punya rencana lain. Tahun ini, 1998. Krisis moneter terjadi
dimana-mana, termasuk di Lombok. Banyak perusahaan gulung tikar. Para pekerja
di PHK. Penjarahan juga terjadi dimana-mana. Sekali lagi Tuhan memang adil. Tuhan
memang sempurna, dan takdirnya tak dapat diubah oleh siapapun. Dampak krisis
moneter akhirnya aku rasakan juga. belum sempat aku selesaikan mimpi-mimpiku di
putih-biru. Belum sempat akku merajut mimpi-mimpi putih abu-abu di atas kertas
ijazahku nanti. Kini Tuhan mengambil semuanya. Ya, semuanya. Mimpi-mimpiku,
cita-citaku, semuanya!
Usaha orang tuaku gulung
tikar. Inflasi tinggi yang melanda negeri ini memaksa mereka menjual seluruh
asset perusahaannya. Rencana Tuhan memang tidak bisa ditebak. Perasaan sakit
itu. Perasaan sakit dua tahun lalu. Bak petir menyambar di siang hari.
Lagi-lagi kurasakan sukmaku bergetar sakit. Kali ini bukan Inaq dan Bapak yang
melakukannya. Tetapi mereka! Ya, mereka yang memungutku dipinggir jalan. Mereka
yang mewujudkan mimpi-mimpi putih-biruku –setidaknya selama setahun-. Mereka
pula yang merenggut mimpi-mimpiku.
Uang duapuluhribuan diberikan
padaku. Jumlah yang tidak sedikit waktu itu, tetapi tak sebanding dengan
mimpi-mimpiku yang terenggut. Mereka, orangtua angkatku akan kembali ke China.
Tak ada lagi yang tersisa di sini, di Mataram ini. Semua usaha mereka gulung
tikar. Mereka memutuskan untuk mengembalikanku. Mengenbalikan aku ke asalku, ke
Lombok. Dan kembalilah aku seperti dulu. Sendiri. Maryam, gadis empatbelas tahun.
Terduduk dipinggir jalan di Mataram. Terlintas keinginan untuk pulang ke rumah
inaq dan bapak. Kuurungkan, mereka pasti marah pikirku.
-angin menerpa rambutku
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi-
Pamplet cinta
Aku memang terkenang pada apa
yang telah terjadi. Termenung, melamun, tak tahu harus berbuat apa. Semangatku
patah lagi. Mataku menatap sesosok yua. Wajahnya sangat familiar. Inaq! Ya, itu
inaq, pekikku dalam hati. Kupanggil inaq, kupeluk, bersimpuh aku dikakinya,
menangis. Tubuhnya kini kurus, lebih kurus dari terakhir aku melihatnya.
Ubannya semakin banyak. Maafkan aku Inaq, aku tak mendengar nasehatmu. Maafkan
aku Inaq, aku meninggalkanmu. Inaq menangis, sungguh aku merasa hina telah
meninggalkannya. Inaq membujukku pulang ke rumah. Sejenak aku merajuk, teringat
mimpi-mimpiku. Bagaimana dengan sekolahku? Bagaimana dengan cita-citaku? Inaq
semakin meneteskan air matanya. Bibirnya dengan lembut melantunkan
wejangan-wejangan yang membuatku luluh. Ternyata aku salah. Aku pikir inaq murka
karena kedurhakaanku. Ternyata aku salah. Inaq sungguh baik hati. Kutinggalkan
cita-cita dan asaku di Mataram. Aku pulang ke Baleka, rumah inaq dan Bapak.
Entah apa lagi yang menyambutku nanti. Rahasia Tuhan memang tak tertebak.
1999- Januari
Aku Maryam Nurjanah. Gadis
jelita yang berumur limabelas tahun bulan depan. Sesuai adat di kampungku,
harusnya aku sudah menikah tetapi aku tak mau menikah di usia muda. Perawan
tua! Olok-olok penduduk kampong. Julukan itu tak masalah bagiku. Aku tak mau
menikah di usia limabelas tahun. Meskipun inaq dan bapak juga sudah memaksa.
Hidupku masih panjang inaq, bapak! Tolong hargai keputusanku. Tak apa aku tak
sekolah. Aku sudah mengubur dalam-dalam keinginan itu. Aku ingin cari uang
dulu, tak ingin nikah muda. Toh aku kerja juga buat bantu inaq dan bapak. Inaq
dan bapak luluh, mereka tak memaksaku lagi. Sedikit melegakan hatiku yang
hampir hancur lagi.
-Februari-
Sebulan lebih aku banting
tulang. Kini aku genap berusia limabelas tahun. Bekerja, membantu inaq sesekali
di Mataram. Lambat laun kesedihanku terhapuskan, atau lebih tepatnya tertimbun
kesibukanku. Semangatku pulih kembali. Aku kembali meniti hidupku dengan
senyuman. Namun, untuk kesekian kalinya takdir Tuhan memang tak tertebak. Baru
sebentar aku merasa bahagia. Baru sebentar aku tersenyum. Tuhan mengambil
Bapak. Bapak yang tangguh, bapak juga yang ternyata terserang TBC. Sungguh
mengguncang jiwaku dan inaq. Betapa tidak, bapak yang pergi ke sawah setiap
hari, bapak yang banting tulang demi sesuap nasi kini pergi, pergi meninggalkan
aku dan inaq. Tuhan. Mengapa kau berikan cobaan ini padaku. Tak kuat rasanya.
Baru sebentar aku menikmati hidupku kembali, kini harus ternoda lagi oleh
cobaanMu, ternoda oleh kepergian Bapak. Kini tinggal aku dan inaq berjuang
melawan kejamnya dunia. Inaq pun tak seperti dulu. Inaq menjadi pendiam, inaq
menjadi muram, inaq sangat kehilangan bapak. Sedih, sakit melihat inaq yang
murung setiap hari. Kini tinggal aku. Aku Maryam Nurjanah harus berjuang
menghidupi inaq, mencari sesuap nasi menggantikan bapak. Tanpa inaaq yang
sekarang depresi berat. Betapa tidak sakit hatiku melihat semua kejadian ini.
Pasrah. Kuserahkan semua padamu Tuhan.
-Maret-
Berat. Hidupku bertambah
berat, Tuhan. Bahkan lebih berat dari apa yang aku bayangkan. Inaq memanggilku.
Inaq yang kini semakin memburuk keadaannya. Inaq menuturkan isi hatinya. Entah
untuk keberapa kalinya, seluruh sukmaku bagai lolos dari ragaku. Inaq memintaku
kawin! Kawin diusia limabelastahun. Sangat tidak bisa aku terima. Lagi-lagi
inaq merajuk. Baru aku tahu ternyata inaq punya utang dengan Juragan Badrun.
Juragan Badrun si lintah darat. Tak kusangka inaq berurusan dengan orang itu.
Jika bukan karena inaq, aku mungkin sudah bunuh diri. Aku mungkin sudah
mengakhirinya sampai disini. Inaq memintaku kawin dengan Badrun biadab itu.
Belum sembuh luka kehilangan bapak, kini aku harus menikah dengan Badrun.
Sunggu kejam takdir Tuhan. Sungguh aku ingin menolak. Sungguh aku ingin
berontak.
“inaq, dengarkan aku inaq! Ini
bukan zaman Siti Nurbaya inaq. Sungguh aku tak rela dipersunting Badrun”,
rajukku.
Entah untuk keberapa kalinya
inaq merajuk di hadapanku.
“Aku pun tak rela
anakku”,katanya.
Rumah. Ya, rumah satu-satunya
milik Inaq raib jika aku tak mau dipersunting Badrun, dan kami harus tinggal
dimana? Sungguh aku merasa menjadi Siti Nurbaya di era reformasi ini. Di era
reformasi yang serba maju, namun hak-hak rakyat biasa masih terpaku. Sungguh
aku benar-benar merasakan perasaan itu.
-April-
Hari ini aku menikah dengan
Badrun. Sungguh berat rasanya hati ini. Inaq tersenyum getir. Aku tahu, aku
tahu Inaq, engkau pun tak rela. Biarlah, biarlah Inaq. Anggap saja ini
permintaan maafku. Aku yang dulu meninggalkanmu Inaq. Inaq tersenyum memelukku,
hangat. Kubiarkan air mataku menetes.
Sekarang resmilah aku menjadi
istri si Badrun. Badrun si buaya. Entah sudah berapa wanita dikawininya lantas
ditalak olehnya, dan sekarang akulah yang menjadi istrinya. Keperawananku harus
kuserahkan padaBadrun si biadab itu. Keperawanan yang aku jaga selama limabelas
tahun. Keperawanan yang ingin aku persembahkan pada dia, dia yang aku cinta,
bukan Badrun! Sungguh aku tak rela Tuhan.
-Oktober-
Sungguh besar kuasaMu Tuhan.
Tidak ada yang mampu menebak takdirmu. Tak henti-hentinya Kau berikan cobaan
pada hambamu ini. Inaq menghembuskan nafas terakhirnya. Nafas terakhir Ibunda
yang mulia. Disaat aku tengah bunting. Disaat aku butuh Inaq. Kau ambil inaqku
Tuhan. Ini semua sungguh tak adil. Kini tinggallah aku sendiri. Maryam Nurjanah
yang malang, hidup bersama lelaki hidung belang.
###
Akulah Maryam Nurjanah. Kini
aku tak lagi gadis. Aku seorang wanita berumur limabelas tahun. Seorang wanita
yang hidup bersama lelaki hidung belang. Seorang wanita yang terus-terusan
disiksa suaminya, karena tak menuruti nafsu birahinya. Jenuh, jengah, dan
sakit. Tamparan, pukulan, dan sayatan. Itulah yang aku dapat selama menjadi
istri Badrun. Tak tahan, sungguh aku tak tahan. Aku ingin keluar dari kehidupan
ini. Keluar dari buaya itu.
Kulangkahkan kakiku. Aku akan
berjuang. Berjuang sendiri. Berjuang bersama jabang bayiku. Kulangkahkan
kakiku. Menuju kehidupan lebih baik. Aku harus bertahan. Aku yakin Tuhan punya
rencana lain, entah rencana yang lebih baik atau sebaliknya. Langkah kakiku
terhenti dihadapan dua gundukan tanah. Dua gundukan tanah di kuburan. Aku
bersimpuh, menangis. Lihatlah! Lihatlah inaq, lihatlah Bapak. Ini aku. Aku
Maryam Nurjanah. Maryam Nurjanah yang malang. Maryam Nurjanah yang masih
limabelas tahun. Maryam Nurjanah yang seharusnya masih sekolah. Maryam Nurjanah
yang pernah durhaka. Maryam Nurjanah yang kini sendirian.
Aku akan berjuang Inaq, Bapak.
Aku akan terus berjuang melawan takdir ini. Sebelum Maryam melangkah, dengarkan
aku bicara Bapak, Inaq. Untuk terakhir kalinya. “Inaq, Bapak AKU MASIH
LIMABELAS TAHUN”
---
1.merupakan salah satu
sekolah dasar negeri di Kabupaten LOBAR yang berada di Pulau Lombok terutama
untuk golongan Bulu Ketujur.
2.Inaq, merupakan panggilan
‘ibu’ di beberapa daerah di Pulau Lombok.
3.Bulu ketujur adalah salah
satu golongan masyarakat di Lombok Barat yaitu golongan masyarakat biasa yang
dahulu adalah hulubalang sang raja yang pernah berkuasa di Lombok.
4. Kiriman ini diartikan
sebagai kiriman makanan untuk orang yang sedang bekerja di sawah atau lading.
0 komentar:
Posting Komentar